Popular Post

Blogger templates

Posted by : Obat Kondiloma Kutil Kelamin Wednesday, 23 November 2011


Narasi
“Banjir”

“Rabu, 5 Januari 2011, banjir lahar dingin itu menggulung dari Merapi, lalu menerjang Dusun Gempol. Dusun itu terletak di Desa Jumoyo, Kecamatan Salam, Magelang Jawa Tengah.
Banjir itu bukan saja membawa lahar, tapi juga batu-batu berukuran raksasa.  Pada banjir lahar dingin, Senin 3 Januari 2011, batu-batu besar seukuran minibus menghantam wilayah-wilayah di sekitar kali Opak, Sleman, Yogyakarta.
Lahar dingin yang menyapu hari Rabu lalu, menghantam jembatan di Salam, hingga ambruk. Jalur Magelang- Yogyakarta putus. Rumah-rumah warga di sekitar sungai terbenam. Bukan oleh air, tapi lumpur dan pasir yang memadat.
Air bah juga menghayutkan kendaraan. Material vulkanik yang memadat menyumbat sungai, menyebabkan aliran lahar dan air berbelok ke kebun dan kampung. Itu adalah banjir lahar terbesar sejak Merapi meletus pada tahun 2010.”

Kulihat jam yang berada tepat diatas televisi menunjukan pukul 21.55, sudah berulang kali aku menontonya lewat tayangan yang berselogan “Selalu Mengabarkan”. Entah mengapa aku tak bosan melihatnya bahkan sampai detik ini.

“Belum tidur de??”
“Eh.. Mama.. Belum mah, ini, semakin menarik saja kelihatanya.”
“Yang mereka butuhkan, hanya bantuan..”
Mama yang baru keluar kamar setelah berdoa cukup panjang dari isya, akhirnya duduk di sofa bersamaku melihat tayangan yang ada.

***

Cicadas Girang, Bandung.
Sore ini, angin dan awan mendung mulai menyerukan kabar bahwa sahabatnya “Hujan” akan turun di daerah kami. Aku langsung berlari meninggalkan jendela dan rasa dingin dengan berlari mengabari nenek yang sedang duduk di kursi goyang. Nenek bangun dengan sigap walau kutahu ia menyembunyikan ketakutan yang teramat akan malam ini. Banjir sudah menjadi hal lumrah di tempat tinggalku. Kala hujan datang derasnya air solokan di depan rumah kami pasti meluap dengan segala yang ada di dalamnya entah itu celana dalam, bungkusan pelastik makanan, keresek aneka warna, bahkan sampai kotoran manusia. Di kota macam ini pembuangan seperti itu langsung melalui solokan sampai akhirnya mengalir ke Sungai Citarum.

“Ina, kamu susul paman-mu di mesjid, suruh dia bantu kita amankan barang-barang, nenek bereskan dulu baju kamu buat sekolah besok.”

Kuambil jaket agar dapat menghantam cuaca yang tidak bersahabat… kuambil payung butut untuk sedikit melindungiku di luar sana. Benar saja, gerimis tak lama membuntutiku, hawa dingin ini terlalu kuat untuk ku terjang, kuremas kancing jaket yang ada di dadaku sambil berlari menuju mesjid. Paman segera mengambil Panjir yang beberapa hari lalu dipinjam mesjid. Panjir adalah sebuah papan triplek yang dilapis kayu. Panjir sangat berguna, karena saat banjir biasa digunakan oleh warga untuk menahan luapan air dari solokan, cara pakainya cukup sederhana tinggal dimasukan ke tengah-tengah pintu yang sengaja dimodifikasi. Memang dari dulu rumah-rumah disini sangat disesuaikan dengan keadaan yang sering banjir tidak ada jendela yang ketinggianya kurang dari 1.5 meter, sehingga mengurangi kemungkinan air masuk lewat celah celahnya, begitupun dengan pintu yang bisa diberi slot untuk papan panjir setinggi 1.5 meter. Jika tidak demikian, bias dibayangkan benda benda yang ada di air solokan akan dengan mudah masuk ke rumah kami.

Di rumah, kudapati nenek yang sudah menaikan beberapa barang yang penting, televise 14 inc hitam-putih beserta accu-nya dinaikan ke loteng atas. Paman memasang Panjir, dibawah Panjir dan pintu diselipkan lamak (lap –bahasa sunda) . Aku mengamankan buku-buku yang tergeletak di lantai seusai belajar tadi sore. Malam mulai datang, hujan mulai deras, riuh pohon dan putaran angin makin kuat terasa. Tangisan Silvi, tetanggaku yang masih balita terdengar nyaring dan tak terkendalikan oleh ibunya. Benar saja… hujan makin deras malam ini kami semua diselimuti ketakutan sedikit demi sedikit air di halaman rumah semakin meningkat, rumahku sendiri lumayan terlindungi hanya sedikit air yang merembes melalui pintu. Tapi tiba terdengar teriakan dari luar, nenek sebatang kara itu selalu saja menjadi bahan kekhawatiran kami, bliau sebatang kara dan tidak ada yang mengurusnya, segera ku intip dari balik jendela.. ternyata kali ini sebuah keranjang kayu yang hanyut bersama hantaman air keruh, nenek itu nangis tersedu-sedu, paman segera naik melewati kayu Panjil agar dapat menyelamatkan keranjang kayu tersebut, sepertinya dalam benak paman tidak ada lagi rasa jijik dari kekeruhan air beserta segala isi didalamnya, pedahal kotoran-kotoran manusia banyak sekali terlihat. Namun sayang, keranjang rotan berukuran 1 x 0.5 meter itu tidak bisa di selamatkan lagi. Nenek tersebut menceritakan sedikit tentang isinya, baju serta boneka kesayangan anak semata wayangnya masih tersimpan rapih, namun sekarang telah hanyut beserta kenanganya. Mungkin saja anak nenek tersebut sudah tidak ingat pernah memiliki boneka masa di kecilnya atau bahkan ibunya sendiri. Kasihan.

***

Beberapa minggu kemudian:
Ada beberapa pejabat datang ke wilayah kami, biasa.. dengan kerumunan kuli tinta. Aku berlari menuju kerumunan orang-orang yang memadati pertemuan pejabat daerah kami dengan pejabat pemerintah. Didapatilah sebuah keputusan dimana ternyata rumah kami diminta keikhlasanya untuk mundur sepanjang 2 meter agar dapat memperlancar proyek peluasa kali dan solokan sekitar rumah supaya tidak terkena banjir.
Akhirnya proyek yang memakan waktu 4 bulan tersebut telah terselesaikan. Solokan sekarang berukuran 3 Meter dengan kedalaman kurang lebih 5 meter dapat menampung air yang membludak kala hujan.

***

Pandanganku masih melekat pada Mama, wajah mama sangat serius menceritakan kisah masa kecilnya. Aku tahu sekarang, bahwa bantuanlah yang mereka butuhkan.

====End====

by: renita.widiastari@gmail.com*)di suruh my lovely Bu sri gantuni ^_^ini masuknya narasi ga?? hahah maap kalo jelek da aku mah mahirnya di argumentasi...
mohon koreksinya...#sungkem

Leave a Reply

Harap memasukan nama lengkap anda

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © renitawidiastari.blogspot.com - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -